Memajukan petani kecil - menuju swa sembada dan petani sejahtera
Ir. Haniwar Syarif (Pemerhati industri Pangan)
Tulisan ini lahir dari keprihatinan bahwa pertanian kita sulit maju bukan karena petaninya malas, tapi karena petaninya kecil-kecil dan berjalan sendiri-sendiri. Di sisi lain, industri agro tumbuh cepat dan butuh pasokan besar dan stabil yang kini banyak diisi oleh impor. Solusi terbaik adalah menghimpun petani kecil menjadi kekuatan kolektif dalam bentuk koperasi yang dikelola secara modern dan efisien. Untuk mewujudkannya, perlu komitmen kuat dan kesungguhan pemerintah sebagai penggerak awal. Jika jalan ini diambil, bukan hanya produksi pertanian yang akan meningkat, melainkan seluruh pihak: industri terpenuhi, petani sejahtera, konsumen bahagia.
Koperasi Usaha Tani dan Sistem Pertanian Berbasis Kolaborasi
Petani kecil telah lama menjadi tulang punggung ketahanan pangan negeri ini, sekaligus penjaga ekosistem. Namun dalam kenyataannya, mereka kerap terjebak dalam siklus yang tidak adil: lahan yang sempit, hasil terbatas, akses pasar yang lemah, dan minim kesejahteraan.
Tulisan ini ingin mengajak kita semua: warga biasa, pengambil kebijakan, dan siapa pun yang peduli, untuk merenung dan berpikir ulang: mungkinkah kita memajukan petani gurem tanpa harus membuka hutan dan merusak lingkungan? Bisakah kita wujudkan petani yang sejahtera, pertanian yang berkelanjutan, dan produktivitas yang meningkat?. Jawabannya: bisa, dan harus!. Karena sejatinya, kemakmuran petani adalah fondasi kemakmuran bangsa.
Petani gurem kita memiliki potensi yang besar asalkan dikelola dengan sistem yang tepat. Pendekatannya bukan lagi kerja individu, tapi kolaborasi strategis. Salah satunya dengan membentuk koperasi usaha tani. Koperasi ini bukan koperasi simpan pinjam, toko sembako, atau tempat distribusi pupuk, melainkan koperasi yang fokus pada seluruh rantai usaha tani, dari hulu sampai hilir.
Close-Loop System — Kunci Efisiensi dan Nilai Tambah bagi Petani
Close-loop system adalah sistem pertanian tertutup dan terintegrasi, di mana seluruh rantai produksi dari hulu ke hilir dikelola dalam satu siklus yang saling mendukung. Sistem ini bertujuan menciptakan efisiensi, meningkatkan nilai tambah, dan memperkuat posisi petani kecil. Selama ini, petani kecil cenderung terjebak dalam sistem terbuka: menjual gabah mentah, membeli pupuk mahal, bergantung pada tengkulak, tanpa kendali atas harga maupun mutu. Akibatnya, kesejahteraan sulit dicapai. Dengan close-loop system melalui koperasi usaha tani, petani tidak hanya menanam, tetapi juga ikut mengelola pasca panen: pengeringan, penggilingan, pengemasan, hingga pemasaran. Mereka tak lagi menjual gabah murah, tapi beras bermerek, dan menjadi nilai tambah yang nyata.
Dalam skala koperasi, sistem ini memungkinkan kontrak langsung dengan industri. Misalnya untuk tomat, cabai, atau kedelai — ditanam sesuai spesifikasi pabrik, dengan kesepakatan harga dan kualitas. Dengan posisi koperasi sebagai korporasi petani, daya tawar meningkat. Pemasok input pun akan datang menawarkan produk dan teknologi terbaik. Petani tidak lagi pasif, tapi menjadi pengambil keputusan dalam mata rantai pertanian. Level pasca panen pun juga bisa dibicarakan: cukup kering saja, atau hingga berbentuk bubuk. Limbah pertaniannya bisa diolah menjadi kompos atau pakan, sehingga membentuk pertanian terpadu yang minim limbah dan berkelanjutan.
Sejalan dengan close-loop system, maka syarat membangun koperasi usaha tani adalah: pembagian peran seluruh rantai usaha. Sebagian anggota bertani di lahan, sebagian lainnya mengelola pascapanen (pengeringan, penggilingan, pengemasan), sebagian lagi menangani pemasaran, distribusi dan logistik. Sebagian lagi membuat pupuk organik dan mengembangkan benih unggul.
Dengan sistem ini, produktivitas pertanian akan naik, begitu juga dengan nilai tambah pengolahan dan pemasaran yang akan meningkatkan pendapatan petani. Setiap petani juga dibimbing untuk memanfaatkan pekarangan rumah: menanam sayur, beternak ayam, atau membuka jasa kecil-kecilan untuk menambah penghasilan dan ketahanan ekonomi keluarga. Jika ini diterapkan luas, swasembada pangan tercapai bukan dengan membuka hutan, tapi dengan memberdayakan petani kecil yang sudah ada sebagai jalan yang lestari, adil, dan bermartabat.
Membangun Koperasi Usaha Tani dari Akar Rumput
Mendirikan koperasi tidak semudah membalik tangan. Banyak petani masih ragu untuk bergabung karena trauma masa lalu: koperasi yang tidak dikelola dengan baik, tidak transparan, atau hanya formalitas. Mereka terbiasa bekerja sendiri, dan enggan menyerahkan hasil panen kepada lembaga yang belum mereka percayai. Keraguan itu wajar dan tidak bisa disalahkan. Oleh karena itu, membangun koperasi harus dimulai dari dasar: membangun kepercayaan. Sebelum petani kecil bisa naik kelas melalui sistem korporatisasi, pondasi dasarnya harus dibangun lebih dulu, yaitu koperasi yang sehat, kuat, dan benar-benar milik petani itu sendiri, bukan milik pemerintah atau LSM.
Untuk membangun kembali kepercayaan, maka koperasi harus dikelola secara transparan. Koperasi harus dikelola oleh komunitasnya sendiri, antara lain petani yang berhasil, perangkat desa yang visioner, pemuda/sarjana perantau yang kembali ke desa dan memiliki kemampuan manajerial, atau perangkat desa yang berpikiran maju. Mulai dari jumlah yang kecil (25-50 orang) yang telah saling kenal dan percaya. Bila koperasi berkembang, profesional bisa dilibatkan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dasar koperasi. Semua alur keuangan dan keputusan disampaikan terbuka kepada anggota, baik lewat pertemuan rutin maupun laporan tertulis. Keuntungan koperasi juga harus dibagi secara adil, bukan berdasarkan besarnya modal, tetapi berdasar partisipasi aktif dan kontribusi anggota. Prinsip ini adalah prinsip koperasi sejati, di mana semua anggota dilibatkan dalam pengambilan keputusan agar tumbuh rasa memiliki.
Menguatkan Fondasi Koperasi – Peran Pendampingan dan Fasilitasi Pemerintah
Pemerintah melalui dinas pertanian, dinas koperasi, LSM, dan perguruan tinggi juga diharapkan berperan untuk: mendampingi legalisasi pembentukan koperasi (proses legalisasi dipercepat atau disederhanakan, dan pendaftaran difasilitasi langsung oleh dinas secara proaktif), penyusunan rencana usaha koperasi, melatih tata kelola koperasi, literasi keuangan dan digitalisasi, membina praktik budidaya dan pascapanen yang sesuai prinsip Good Agricultural Practices dan daya tawar petani dalam pasar.
Meski modal dasar koperasi tetap berasal dari iuran dan aset anggota. Tapi untuk tumbuh, koperasi perlu akses kredit perbankan yang seharusnya berbasis pada potensi usaha, bukan sekadar agunan. Di sinilah peran pemerintah sebagai penjamin kredit dalam batas wajar untuk meringankan beban risiko bagi petani. Dana hibah dari pemerintah, LSM, atau CSR perusahaan dapat digunakan untuk menutupi biaya operasional dasar. Jumlahnya tidak perlu besar, tapi efektif dan tepat sasaran.
Mengembangkan koperasi usaha tani perlu juga perlu dukungan sejumlah hal konkret lainnya yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh petani. Misal: pembelian pupuk secara kolektif agar diskonnya dapat digunakan untuk menopang biaya operasional koperasi, mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) guna pengadaan sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida, dan alat pertanian; pembebasan pajak penghasilan, retribusi, atau pungutan lain selama 3–5 tahun pertama agar bisa bertumbuh tanpa beban; pemangkasan rantai distribusi, di mana koperasi dapat mengelola hasil panen hingga ke penjualan akhir, bahkan langsung ke industri pengguna sehingga harganya lebih murah, atau menjual bersama hasil panen langsung ke pembeli, sehingga memperoleh harga lebih baik dari sebelumnya.
Koperasi Usaha Tani dengan Mindset Industri dan Nilai Tambah
Setelah kepercayaan terbangun dan koperasi mulai berjalan baik, tantangan selanjutnya adalah menjadikan koperasi benar-benar berfungsi sebagai badan usaha atau unit ekonomi yang menghasilkan nilai tambah, bukan sekadar wadah berkumpul.
Koperasi usaha tani harus berpikir seperti industry yang tidak cukup hanya menanam dan menjual panen, melainkan menjadi usaha yang memiliki daya saing dan menjaga semua rantai nilai dari awal hingga akhir dengan membangun rantai usaha yang lengkap secara efisien, terstandar mutunya dan berorientasi pasar. Misal: untuk padi tidak hanya panen dan jual gabah yang bermutu dengan harga bersaing, tapi juga penggilingan, pengemasan, branding beras, hingga distribusi ke konsumen. Untuk cabai, tidak hanya jual mentah, tapi bisa produksi sambal botolan, bubuk cabai, atau setidaknya pasok ke industri pengolahan. Untuk jagungm selain pakan, bisa masuk ke industri makanan ringan atau tepung. Dengan begitu, petani tak lagi jual murah ke tengkulak, tapi ikut menikmati marjin usaha. Rantai pasok juga terjamin karena koperasi bekerja langsung dengan pembeli besar, bahkan bisa kontrak dengan industri pengguna. Pasokan input juga lebih efisien karena pupuk, benih, pestisida bisa dibeli kolektif dan sesuai kebutuhan produksi. Peran pemerintah dalam membantu koperasi menjalin kemitraan yang adil dengan industri pengguna sangat penting di tahap ini, yakni dengan memfasilitasi penyusunan kontrak yang saling menguntungkan
Untuk mewujudkan hal tersebut, koperasi perlu pembinaan intensif setidaknya selama 3-tahun. Tujuannya bukan membuat koperasi bergantung selamanya. Justru, saat koperasi mulai kuat dan mandiri, dukungan eksternal bisa dikurangi secara bertahap, hingga koperasi bisa bertransformasi menjadi korporasi milik petani. Keberhasilan satu koperasi kecil bisa jadi contoh dan inspirasi. Maka penting memulai dari yang mungkin, membangun kepercayaan dari nol, lalu memperluas ke komunitas lain. Semua ini memerlukan komitmen jangka panjang. Namun koperasi yang lahir dari akar rumput yang dikelola dengan prinsip yang benar akan tumbuh menjadi fondasi ekonomi petani yang kokoh, berdaulat, dan mandiri

Komentar