Ayahku Idolaku

 *Ayahku, Idolaku*

Dalam kenangan pada Ayahanda 

BOESTAMI SYARIF SH




Di masa penjajahan Belanda, ketika pendidikan adalah kemewahan yang hanya dinikmati segelintir orang, ayahku sudah melangkah jauh. Ia menempuh pendidikan tinggi di bidang hukum dan menyandang gelar *Meester in de Rechten*—gelar bergengsi di zamannya, yang kini dikenal sebagai Sarjana Hukum. Itu saja sudah membuktikan ketekunan dan kejernihan pikirannya.

Namun, ayah bukan hanya cerdas secara akademik. Ia adalah pribadi dengan hati yang luas. Saat menikahi ibuku—perempuan berdarah ningrat dan berasal dari keluarga terpelajar—ayah tidak hanya menerima satu orang dalam hidupnya, tapi juga seluruh keluarga bunda. Ia menerima kedua mertuanya, bahkan juga nenek dan adik bungsu bunda dari niat tulus.

Kemudian, bahkan salah satu adik bunda yang mengalami gangguan jiwa pun dirawat di rumah kami, tanpa rasa malu atau takut dicemooh. Justru sebaliknya, keluarga kami dihormati para tetangga karena ketulusan hati ayah.

Ayahanda, mungkin karena beliau orang Minangkabau, juga membuka pintu lebar bagi para keponakan dari Sumatra yang datang ke Jakarta dan berkumpul di rumah besar kami untuk menuntut ilmu.


Rumah kami menjadi tempat bernaung, belajar, dan menempuh masa depan—bukan hanya bagi anak-anaknya, tapi juga bagi para keponakan dan adik ipar.  

Jadilah rumah besar masa kecil kami seolah-olah asrama yang turut melahirkan banyak sarjana.

Dalam hidupnya, ayah sangat pendiam. Tapi justru dari sikap diam itulah aku belajar bahwa keteladanan tidak selalu harus lewat kata-kata. Ia mengajarkan kami mencintai buku, alam, dan mempertajam kemampuan berpikir.

Beliau sering mengajak kami, putra-putrinya, keluar rumah. Tujuan utamanya hanya dua: ke toko buku Gunung Agung atau ke pegunungan—seperti wilayah yang biasa disebut Puncak, selepas Kota Bogor. Saat itu wilayahnya masih sangat alami. Kami meniti pematang sawah menuju gunung, menyusuri sungai yang jernih.

Di toko buku, tentu saja kami membeli buku. Maka tak heran jika di setiap sudut rumah, tampak anak-anaknya sedang membaca. Buku membawa kami pada budaya intelektual.

Lebih dari itu, rumah besar masa kecil kami juga dipenuhi hewan peliharaan: angsa, itik, ayam, burung merpati, dan berbagai macam ikan. Dari situlah tumbuh cinta kami pada ilmu dan alam.

Selain itu, ayah mendorong kami untuk belajar permainan yang melatih otak seperti catur dan kartu bridge. Aku ingat pernah dibelikan buku catur—waktu itu sedang ramai perebutan juara dunia antara Noris Slasskyndam dan Smyslov.

Bahkan, rumah kami sempat menjadi semacam "club house" bagi para penggemar bridge. Setiap hari, puluhan pemain bridge berkumpul dan berlatih. Itu membuatku cukup terlatih hingga pernah menjadi juara bridge tingkat kelurahan, dan juga juara antar-fakultas saat kuliah di IPB.

Catur, jujur saja, kurang kusukai karena lawan sering berpikir terlalu lama. Aku yang kurang sabar, sering merasa kesal menunggu giliran


Olahraga pun tak beliau lupakan. Halaman depan rumah besar kami terbentang sebuah lapangan badminton. Tempat kami berlatih.

Ayah bukan orang kaya harta, tapi ia meninggalkan kekayaan sejati: integritas, kasih sayang, dan dedikasi. Ia membesarkan kami bukan hanya agar menjadi orang sukses, tapi juga agar menjadi orang baik.

Tak banyak ayah yang mau membawa mertua—bahkan ibunda dari istrinya—untuk tinggal bersama. Tapi ayah melakukannya dengan tulus dan tanpa keluhan.

Beliau menjadikan membaca sebagai kebiasaan kami, dan mendorong kami untuk terus melatih pikiran lewat permainan bridge dan catur.

Beliau menjadikan membaca sebagai kebiasaan kami, dan juga mendorong latihan berpikir melalui permainan bridge dan catur.

Kini, setelah beliau tiada, aku melihat jelas warisan yang ditinggalkannya—bukan dalam bentuk harta, melainkan nilai-nilai hidup. Lelaki pendiam itu telah menanamkan sesuatu yang terus hidup dalam diri kami semua.

Dan saat beliau berpulang, begitu banyak orang datang mengantar ke peristirahatan terakhirnya, sambil bersaksi:  

*"Khoir... Ayahandamu memang orang baik."*


-

Komentar

Postingan Populer