Jejak cinta Bunda nan Abadi

 - *"Jejak Cinta Bunda nan Abadi"*

     Dalam kenangan kepada Bunda 

         SOESMINI SOERAPOETRA






Bunda kami telah tiada, wafat di usia 97 tahun, sekitar belasan tahun yang lalu. Namun, jejak kasih dan keteladanannya masih terus hidup dalam ingatan dan kehidupan kami.

Beliau adalah sosok yang lembut, penuh doa, dan tak pernah lelah meyakini bahwa anak-anaknya pasti bisa. Dalam kesederhanaannya, Bunda mewariskan keramahan untuk semua orang, serta kebiasaan berprasangka baik yang mengakar kuat dalam diri kami.

Bunda dikenal ramah kepada semua orang—kepada anak-anaknya, keponakan-keponakan, bahkan tamu yang berkunjung ke rumah. Semua merasa seakan berada di rumah sendiri jika sudah mengenal beliau.

Bahkan asisten rumah tangga pun menyayanginya. Banyak yang bekerja bersamanya dalam waktu yang lama, bahkan hingga akhir hayatnya. ART terakhir yang menemani beliau sampai wafat pun pernah berjanji akan tetap bekerja hingga Bunda berpulang. Janji itu benar-benar dipenuhi.

Bunda bahkan berpesan khusus kepada anak-anaknya untuk tetap mengingat dan menghargai jasa kedua ART yang telah setia menemani beliau di masa senjanya, apalagi setelah Ayah wafat dan mereka hanya tinggal bertiga di rumah.

Meski kami anak-anaknya semua ikut membantu biaya hidup Bunda—yang tinggal bertiga dengan dua ART—aku mungkin bisa dibilang yang paling kecil pemberiannya. Kakak-kakakku banyak yang lebih sukses. Tapi yang membuatku terharu, setiap menerima pemberian dari siapa pun, Bunda selalu menerimanya dengan mata berbinar dan penuh syukur.

Ucapannya selalu tulus: sambil memelukku, beliau berkata, “Terima kasih,” dengan ekspresi yang sama seperti saat menerima dari kakakku yang memberikan jauh lebih banyak. Dari situ aku belajar tentang kebesaran hati Bunda.

Bunda juga selalu mengajarkan kami untuk berprasangka baik dalam segala hal, kepada siapa pun. Mungkin karena itu semua orang memandang beliau sebagai pribadi yang sangat baik.

Aku teringat saat masih SMA dan nilai raporku buruk. Aku bilang, “Bu, mungkin aku nggak naik kelas.” Bunda hanya menjawab sambil membelai rambutku, “Kamu pasti bisa naik kelas.” Dan itu cukup jadi dorongan kuat untukku belajar lebih keras. Dan benar, aku bisa.

 Bunda mendapat karunia usia panjang dari Allah, berpulang di usia 97 tahun. Walau aku termasuk anak paling kecil—setelah adik bungsuku wafat karena kecelakaan di usia 10 tahun—aku tetap bisa menikmati kebersamaan dengan Bunda selama tidak kurang dari 62 tahun.


Pernah suatu ketika, saat usianya telah mencapai 92 tahun lebih, aku mengunjunginya.  

Ia memanjatkan doa yang membuat dadaku sesak dan air mataku jatuh tanpa bisa kutahan:  

*"Ya Allah, terima kasih atas kebaikan-Mu. Anakku hari ini mengunjungiku. Tolong ya Allah, semoga mereka lebih sering mengunjungiku."*  

Sebuah doa sederhana, namun sangat menyayat.  

Bunda memilih tetap tinggal di rumahnya sendiri, tidak ingin ikut bersama salah satu dari kami.  

Kami pun tidak bisa memaksa. Apalagi, seperti pepatah Belanda: *"Jangan pindahkan pohon tua ke tempat baru; ia tak akan tumbuh dan bisa cepat mati."*  

Maka di hari tuanya, Bunda hanya ditemani oleh dua ART.  

Meski fisiknya mulai melemah, semangat hidupnya tetap menyala. Ia masih menikmati ayam KFC, Coca-Cola, bahkan durian dan es krim.

Kini, setelah beliau tiada, aku menyadari:  

Warisan terbesar bukanlah harta, melainkan nilai-nilai hidup. Bahwa cinta dibuktikan dengan kehadiran. Bahwa doa adalah bahasa cinta yang terdalam.

Pertanyaan Bunda dulu, setiap kami datang menengok, masih terngiang:  

*"Lama sekali baru datang lagi."*  

Kini terus menggema dalam benak:  

*"Berapa kalikah yang seharusnya disebut cukup untuk kunjungi bunda itu?"*

Beliau menghabiskan harinya dalam kesendirian. Dan aku tak bisa menahan bayangan tentang karma yang mungkin menantiku di masa tua, karena dulu aku tak cukup sering mengunjunginya.

Padahal, setiap kunjungan selalu membahagiakannya. Istriku pernah mengingatkanku,  

*"Ayo kita tepati niat untuk menjenguk Bunda seminggu sekali."*  

Tapi bahkan niat itu pun tak selalu mudah ditepati.

Meski begitu, tiap kunjungan tetap menyisakan haru dan rasa bangga karena memiliki sosok Bunda yang begitu hebat.

*Doakan aku*, agar diberi petunjuk untuk menebus kekuranganku. Agar aku tetap bisa membahagiakannya—meski kini hanya lewat doa.

Kini, di usia senja, saat kami sudah jadi kakek-nenek, kami mulai memahami:  

Betapa anak sering mengecewakan orang tua.*  

Dulu kami pun begitu.

Namun kini, kami ingin menebusnya melalui doa dan ketulusan kami.  

Karena kasih sayang orang tua memang tak pernah menuntut,  

tapi *selalu memberi cinta sepenuh hati*.

*Semoga Bunda tenang di sisi-Nya.*  

Terima kasih atas cinta dan doanya yang tak pernah putus.

Komentar

Postingan Populer