Ayahku lelaki dalam senyap
*"Ayahku, Lelaki dalam Senyap"*
(dalam kenanganku pada Ayahanda Boestami Syarif)
Di zaman penjajahan, ketika sekolah masih mimpi langka,
Ayah melangkah gagah di jalur hukum—*Meester in de Rechten*, gelar nan megah yang langka
Tak hanya menuntut ilmu,
Tapi menanam nilai yang tumbuh tak henti waktu.
Ia menikahi Ibu, perempuan cerdas dari darah ningrat,
Dan dengan rendah hati, menjemput ayah ibu mertua, nenek Mertua. Adik ipar bungsu diajak datang berkumpul , bahkan juga adik ibu yang agak terluka jiwanya,
Semua dirangkul penuh cinta, tak peduli stigma dari dunia.
Bukan hanya keluarga kandung,
Keponakan, anak sepupu dari kampung di sumatra
Dibawanya ke rumah besar yang jadi ruang belajar
Penuh disiplin, tapi hangat bagai peluk sabar.menuju mereka meraih cita
Ayah diam, tapi tegas,
Ayah tenang, tapi berwawasan luas.
Jika kami merengek ingin jalan-jalan,
Pilihan terutama dua: toko buku atau alam pegunungan.
Dari situlah tumbuh cinta kami pada ilmu,
Dan kagum pada langit biru yang meneduhkan kalbu.
Ayah tak pernah kaya harta,
Tapi ia wariskan kekayaan sejati:
Keteladanan, kasih tanpa pamrih dan integritas tinggi.
Ia tak banyak bicara,
Tapi setiap tindakannya bicara lebih lantang dari kata-kata.
Ayah bukan hanya kepala rumah,
Ia akar, batang, dan naungan seluruh keluarga.
Kini kami mengerti,
Bahwa dalam diamnya tersimpan banyak arti.
Ia tak minta dikenang,
Tapi dalam hidup kami, ia selalu menjadi cahaya penerang


Komentar