Peran Fair Trade untuk majukan petani/peternak kecil
Peran Fair trade untuk majukan petani/peternak kecil
Selama dua dekade terakhir, label _fair trade_ telah menjadi simbol harapan bagi petani kopi di Indonesia. Di Aceh, Toraja, dan Flores, koperasi-koperasi kecil berhasil menembus pasar ekspor dengan harga premium, berkat komitmen terhadap prinsip perdagangan adil: transparansi, harga wajar, dan pembangunan komunitas. Namun, pertanyaannya kini: mengapa keberhasilan ini belum menyentuh sektor lain yang sama rentannya, seperti peternakan ayam rakyat dan perkebunan tebu rakyat?
Peternak ayam kecil sering kali terjebak dalam sistem contract growing_ yang tidak transparan. Mereka bergantung pada perusahaan integrator untuk bibit, pakan, dan pembelian hasil panen. Ketika harga ayam hidup anjlok, peternak menanggung kerugian tanpa ruang negosiasi. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi—ini adalah bentuk unfair trade_ yang sistemik. Penerapan prinsip fair trade di sektor ini bisa dimulai dengan kontrak kemitraan yang adil: harga minimum yang menjamin kelayakan hidup, transparansi biaya, dan partisipasi peternak dalam pengambilan keputusan. Perusahaan besar tidak perlu dihindari, asal tidak menyalahgunakan posisi dominan.
Di sektor tebu, petani rakyat menghadapi monopsoni terselubung. Pabrik gula sering menjadi satu-satunya pembeli, dengan harga dan potongan kualitas yang ditentukan sepihak. Keterlambatan pembayaran dan minimnya akses teknologi membuat petani sulit berkembang. Fair trade di sini berarti membangun sistem harga yang partisipatif, memperkuat koperasi tebu rakyat, dan membuka akses pasar alternatif. Sertifikasi fair trade untuk produk gula rakyat bisa menjadi langkah awal untuk mengangkat martabat dan daya tawar petani.
Namun, satu hal yang perlu diluruskan: gagasan “petani merdeka” yang berdiri sendiri di tengah pasar yang oligopsonistik dan terintegrasi vertikal adalah romantis tapi tidak praktis. Petani kecil yang berdiri sendiri tanpa akses pasar, pembiayaan, atau perlindungan kontrak akan mudah tergerus oleh fluktuasi harga dan praktik dagang yang tidak adil. Kemerdekaan sejati bukan berarti sendirian, tapi punya pilihan, daya tawar, dan perlindungan. Itu hanya bisa dicapai melalui struktur kolektif (koperasi) atau kemitraan yang adil (contract growing fair trade).
Dalam praktiknya, ada dua model kemitraan yang umum ditemui: _contract growing_ dan _contract supply_. Pada _contract growing_, petani atau peternak memproduksi atas permintaan perusahaan, dengan input seperti bibit, pakan, atau pupuk disediakan oleh perusahaan. Hasil panen wajib dijual kembali ke perusahaan tersebut. Model ini umum di peternakan ayam dan tebu. Sementara itu, _contract supply_ lebih longgar: petani menanam secara mandiri, lalu menjual hasilnya ke perusahaan berdasarkan kesepakatan harga dan volume. Ini sering terjadi pada komoditas seperti cabai atau bawang. Keduanya bisa adil, asal kontraknya transparan dan tidak eksploitatif.
Perusahaan besar pun enggan berurusan langsung dengan petani atau peternak kecil secara individu karena tingginya biaya transaksi. Maka, koperasi menjadi solusi strategis. Koperasi produksi yang terintegrasi—dengan manajemen profesional, pengelolaan input bersama, dan sistem distribusi kolektif—bisa menjadi mitra yang efisien sekaligus adil. Peternak kecil tidak harus besar secara individu, mereka harus besar secara kolektif.
Lalu, apa peran negara? Di sinilah pemerintah dan KPPU harus hadir lebih aktif. Pemerintah perlu mendorong terbentuknya _code of conduct_ wajib bagi perusahaan besar yang bermitra dengan petani atau peternak kecil. Kode etik ini harus mencakup komitmen terhadap harga wajar, transparansi kontrak, dan larangan penyalahgunaan posisi dominan. KPPU juga harus memperluas pengawasan terhadap praktik oligopsoni terselubung dan memastikan bahwa kontrak kemitraan tidak bersifat eksploitatif.
Lebih jauh, pemerintah bisa memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang menerapkan prinsip fair trade, serta mendukung pembentukan lembaga sertifikasi nasional untuk perdagangan adil. Kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran konsumen juga penting, agar produk fair trade dihargai bukan hanya di pasar ekspor, tapi juga di dalam negeri.
Fair trade bukan sekadar soal harga tinggi. Ia adalah soal keadilan dalam relasi dagang. Bahwa petani dan peternak kecil layak diperlakukan sebagai mitra, bukan sekadar pemasok. Bahwa keberlanjutan ekonomi harus dimulai dari keadilan struktural. Sudah saatnya kita tinggalkan romantisme “petani merdeka” dan mulai bicara tentang struktur, efisiensi, dan keadilan. Jika kopi bisa, mengapa ayam dan tebu tidak? Bahkan juga komoditi pertanian peternakan lain seperti csbe bawang peternakan kambing dan lainnya


Komentar