Makan daging merah tidak beresiko kanker







Ada lontaran isu yang mengatakan  maksn daging merah seperti  daging kerbau dan sapi. Beresiko meningkatkan terkena ksnker. Yang dilupakan bahwa resiko itu pun baru ada jika makan dalam jumlah diatas 22 kg setahun itu pun hnaya kenaikan resiko terkana kanker sebesar 18 % jika makan diatas 22 kg setahun 


Di luar perdebatan risiko, daging merah tetap merupakan sumber *protein hewani berkualitas tinggi*, kaya zat besi, seng, vitamin B12, dan asam amino esensial. Bagi kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, lansia, dan masyarakat berpenghasilan rendah yang rentan kekurangan gizi, *daging merah justru sangat penting* untuk mencegah anemia, stunting, dan defisiensi nutrisi lain.

Kita perlu menempatkan informasi kesehatan dalam konteks yang tepat.

Daging merah bukan musuh. Dalam jumlah moderat, justru sangat bermanfaat.  

Risiko yang  nyata di Indonesia justru datang dari tingginya tingkat merokok dan paparan polusi udara, bukan dari piring berisi rendang atau sop sapi juga tidak dari burger dsn sosis.

Konsumsi daging merah (sapi, kerbau) di Indonesia masih sangat rendah, hanya sekitar *2,5 kg per kapita per tahun*. Bandingkan dengan konsumsi yang umum di negara Barat, yakni *1 pound (450 gram) per minggu atau sekitar 22 kg per tahun*. 


WHO memang menyebutkan bahwa konsumsi daging merah berlebih (lebih dari 22 kg per tahun) dapat *sedikit* meningkatkan risiko kanker kolorektal. Namun, penting ditekankan: *kenaikan risiko ini sangat kecil*, dan masih jauh di bawah risiko yang ditimbulkan oleh dua faktor besar lainnya di Indonesia, yaitu *rokok dan polusi udara*.


Perbandingan Risiko: Daging Merah vs Rokok dan Polusi Udara


Merokok: Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Risiko kanker paru-paru pada perokok aktif bisa meningkat hingga *20 kali lipat*. Di kalangan pria dewasa, prevalensiy merokok masih di atas 60%. Ini adalah masalah kesehatan masyarakat yang jauh lebih mendesak.


 Kota-kota besar seperti Jakarta, Bekasi, atau Surabaya 

Sangat parah polusinya, mencatatkan kadar PM2.5 jauh di atas batas aman WHO. Paparan jangka panjang terhadap polusi udara meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan kanker paru-paru. Bahkan bagi orang yang tidak merokok, *menghirup udara di kota besar Indonesia bisa sama bahayanya dengan mengisap beberapa batang rokok per hari*.


 Sementara itu, risiko kanker akibat konsumsi daging merah hanya terlihat jika konsumsinya berlebihan secara konsisten (di atas 22 kg per tahun). Padahal, konsumsi masyarakat Indonesia hanya *sekitar sepersepuluh dari angka itu*. Maka, risiko nyatanya bisa dikatakan *

 nyaris tidak relevan* untuk konteks Indonesia.



 Bagi kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, lansia, dan masyarakat berpenghasilan rendah yang rentan kekurangan gizi, *daging merah justru sangat penting* untuk mencegah anemia, stunting, dan defisiensi nutrisi lain.

Kita perlu menempatkan informasi kesehatan dalam konteks yang tepat. *Daging merah bukan musuh*. Dalam jumlah moderat, justru sangat bermanfaat.  

Risiko nyata di Indonesia justru datang dari *tingginya tingkat merokok dan paparan polusi udara*, bukan dari piring berisi rendang atau sop sapi. Juga bukan dari burger atau sosis

Dan kenyataannya justru tingginya  polusi udara  yang termasuk terburuk didunia dan   efek merokok umlah perokok yang salah satu terbesar didunia lah yang harus di kampanyelan untuk dihadapi  bukan daging merah yang justru dan olahan nya yang harus ditingkatkan konsumsi nha


Komentar

Postingan Populer